Menaker Akui Ada PHK Tapi Jumlah Tenaga Kerja juga Bertambah Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Yassierli, menyampaikan bahwa kondisi ketenagakerjaan di sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) secara umum masih berada dalam situasi yang relatif stabil.
Hal ini disampaikan dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI yang digelar pada Senin (5/5/2025) di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Meskipun terdapat laporan mengenai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, Yassierli menegaskan bahwa dampak tersebut dapat diimbangi oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja baru, termasuk pada sub-sektor industri pakaian jadi.
Menaker Akui Ada PHK Tapi Ada Kenaikan Jumlah Tenaga Kerja
Dalam paparannya, Menaker merujuk pada data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024. Berdasarkan survei tersebut, jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri pakaian jadi mengalami pertumbuhan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
“Jika kita melihat hasil Sakernas, justru ada kenaikan jumlah pekerja di industri pakaian jadi. Ini merupakan indikator bahwa meskipun terdapat PHK, ada juga perekrutan di sektor yang sama atau sektor lainnya dalam rantai pasok,” ungkap Yassierli di hadapan anggota dewan.
Adapun rincian datanya, per Agustus 2024 jumlah tenaga kerja di sektor industri pakaian jadi mencapai 2.895.881 orang. Angka ini mengalami peningkatan dari posisi pada Agustus 2023 yang tercatat sebanyak 2.693.406 orang. Sedangkan secara keseluruhan, jumlah pekerja yang terlibat dalam sektor industri tekstil dan produk tekstil mencapai sekitar 3,97 juta orang pada Agustus 2024.
Sektor ini juga disebut berkontribusi signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur nasional, yaitu sebesar 20,51 persen dari total angkatan kerja di sektor tersebut.
Dinamika PHK dan Pertumbuhan Industri
Yassierli mengakui bahwa secara absolut, jumlah kasus PHK yang tercatat dalam satu tahun terakhir memang mengalami peningkatan. Namun, menurutnya, hal ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni sebagai bagian dari dinamika pasar kerja dan restrukturisasi industri.
“Ada perusahaan yang harus merumahkan pekerjanya karena tekanan ekonomi global atau penurunan permintaan. Tapi pada saat yang sama, ada pula pelaku industri yang melakukan ekspansi dan membuka lapangan kerja baru. Jadi, kita tidak bisa melihat data PHK secara parsial,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor industri tekstil dan pakaian jadi pada kuartal III tahun 2024 mencatat pertumbuhan positif sebesar 3,32 persen. Angka ini menunjukkan bahwa sektor tersebut masih memiliki potensi pemulihan yang kuat, meskipun menghadapi tantangan struktural dan eksternal.
Investasi Asing Meningkat, Modal Dalam Negeri Turun
Sektor TPT juga menunjukkan geliat positif dari sisi investasi, khususnya investasi asing langsung (PMA). Menurut data yang disampaikan Menteri Yassierli, sepanjang tahun 2024, investasi PMA di sektor tekstil mengalami peningkatan secara kumulatif sebesar 101,8 persen dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini menjadi sinyal positif atas kepercayaan investor asing terhadap prospek industri tekstil nasional.
Namun, pada saat yang sama, investasi dari dalam negeri (PMDN) mengalami penurunan sebesar 15,58 persen. Menurut Menaker, dinamika ini mencerminkan adanya tantangan domestik yang perlu segera direspons oleh pemerintah, utamanya dari sisi kebijakan fiskal dan deregulasi.
“Kondisi seperti ini menuntut peran aktif pemerintah dalam menyiapkan langkah antisipatif dan kebijakan mitigatif. Karena investasi merupakan salah satu penggerak utama penciptaan lapangan kerja,” ujarnya.
Strategi Pemerintah untuk Cegah Kebangkrutan Industri TPT
Menaker Yassierli juga menguraikan sejumlah kebijakan yang telah dan akan terus diimplementasikan oleh pemerintah guna mengantisipasi potensi kebangkrutan industri TPT. Fokus utama dari strategi ini adalah menjaga keberlangsungan bisnis, meringankan beban operasional perusahaan, dan memitigasi risiko PHK massal.
Langkah-langkah strategis yang disiapkan antara lain mencakup kebijakan insentif fiskal, termasuk penundaan pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi perusahaan yang terdampak krisis.
Selain itu, pemerintah memberikan subsidi produksi untuk menekan biaya operasional, serta menyalurkan fasilitas pembiayaan dengan suku bunga rendah melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kebijakan ini diharapkan mampu memberikan likuiditas yang dibutuhkan pelaku industri, khususnya sektor usaha kecil dan menengah.
Tidak hanya itu, pemerintah juga memperkuat kerja sama dengan perbankan pelat merah dalam upaya restrukturisasi utang industri. Tujuannya adalah mencegah likuidasi aset dan memberi waktu pemulihan bagi perusahaan terdampak.
Di sisi lain, kebijakan proteksi terhadap industri dalam negeri juga terus ditingkatkan. Pemerintah mendorong diversifikasi pasar ekspor agar tidak terlalu bergantung pada pasar tradisional yang mengalami perlambatan. Digitalisasi dan inovasi industri pun menjadi salah satu fokus pembaruan ekosistem industri tekstil nasional.
“Pemerintah telah dan akan terus melaksanakan berbagai pendekatan, mulai dari insentif fiskal, restrukturisasi keuangan, hingga perlindungan pasar domestik. Semua ini dilakukan agar sektor industri TPT tetap mampu bertahan dan berkembang dalam jangka panjang,” tutur Yassierli.
Penutup
Di tengah fluktuasi kondisi global dan tekanan yang dihadapi industri nasional, pemerintah menegaskan komitmennya untuk menjaga keseimbangan antara keberlanjutan sektor industri dan perlindungan hak pekerja.
Meski tantangan tetap ada, data menunjukkan bahwa sektor tekstil nasional masih memiliki ketahanan yang kuat untuk bertahan, tumbuh, dan terus memberikan kontribusi signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Baca Juga : Terbaru Harga Emas Antam Hari Ini, Kembali Turun Per 2 Mei 2025