0 Comments

Dejavu Penjualan Mobil Nasional, Kembali ke Masa Pandemi

Industri otomotif nasional kembali menghadapi tantangan besar. Setelah beberapa tahun menunjukkan tren pemulihan pasca pandemi COVID-19, kini penjualan mobil mengalami penurunan tajam yang mengingatkan pada masa-masa sulit tahun 2020–2021. Data terbaru dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan bahwa volume penjualan mobil pada kuartal kedua 2025 menurun lebih dari 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Fenomena ini menjadi sinyal kuat bahwa pasar otomotif sedang tidak baik-baik saja. Sejumlah pelaku industri bahkan menyebut kondisi ini sebagai “dejavu pandemi”, karena pola penurunan dan kekhawatiran konsumen sangat mirip dengan masa krisis kesehatan global beberapa tahun lalu.

Dejavu Penjualan Mobil Nasional, Kembali ke Masa Pandemi

Salah satu penyebab utama anjloknya penjualan mobil adalah menurunnya daya beli masyarakat. Kenaikan harga kebutuhan pokok, lonjakan inflasi, dan suku bunga yang tinggi membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam melakukan pembelian besar, termasuk kendaraan.

Selain itu, banyak sektor usaha yang masih berjuang memulihkan kinerja pasca-pandemi, sehingga pengeluaran untuk kebutuhan sekunder seperti kendaraan menjadi prioritas rendah. Konsumen cenderung menunda pembelian atau beralih ke pasar mobil bekas yang lebih terjangkau.

Insentif Pemerintah yang Sudah Berakhir

Selama pandemi, pemerintah Indonesia memberikan berbagai insentif untuk menjaga daya beli masyarakat, termasuk diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil baru. Kebijakan ini terbukti mampu menstimulasi pasar otomotif dalam jangka pendek.

Namun, setelah insentif tersebut berakhir, daya beli konsumen kembali melemah. Produsen mobil pun kesulitan mempertahankan angka penjualan. Beberapa merek bahkan terpaksa menghentikan produksi beberapa model karena stok menumpuk di diler.

Perubahan Perilaku Konsumen Pascapandemi

Pandemi juga mengubah cara pandang masyarakat terhadap kepemilikan kendaraan. Semakin banyak orang yang kini mengandalkan layanan transportasi online atau kendaraan bersama (car sharing) untuk mobilitas harian. Hal ini menurunkan urgensi memiliki kendaraan pribadi, khususnya di kalangan milenial dan gen Z yang lebih memprioritaskan fleksibilitas dan efisiensi biaya.

Ditambah lagi, urbanisasi dan pertumbuhan sistem transportasi publik di beberapa kota besar ikut memperkuat tren ini. Akibatnya, target pasar mobil baru semakin menyusut, dan produsen harus memikirkan ulang strategi penjualan mereka.

Tekanan dari Pasar Mobil Listrik

Munculnya kendaraan listrik (EV) turut memberi tekanan tambahan pada pasar mobil konvensional. Meski penjualan mobil listrik masih tergolong kecil secara keseluruhan, pertumbuhannya cukup signifikan. Konsumen kelas menengah atas kini mulai melirik EV sebagai alternatif yang lebih hemat energi dan ramah lingkungan.

Namun, harga EV yang masih relatif tinggi dan keterbatasan infrastruktur pengisian daya membuat transisi ini belum sepenuhnya menguntungkan bagi seluruh lapisan konsumen. Di sisi lain, hal ini menimbulkan kebingungan di pasar dan memperlambat keputusan pembelian.

Langkah Strategis Pelaku Industri Otomotif

Menghadapi kondisi ini, para pelaku industri otomotif dituntut untuk lebih adaptif. Beberapa strategi yang mulai dilakukan antara lain:

  • Meningkatkan efisiensi produksi untuk menekan biaya.

  • Memberikan promo dan diskon menarik guna merangsang penjualan.

  • Meningkatkan layanan purna jual sebagai nilai tambah bagi konsumen.

  • Mengembangkan model hybrid dan listrik untuk mengikuti tren global.

Di sisi lain, kerja sama dengan lembaga pembiayaan juga menjadi krusial untuk mempermudah akses kredit kendaraan dengan bunga yang kompetitif.

Penutup: Haruskah Kita Khawatir?

Meskipun penurunan penjualan mobil mengingatkan kita pada masa pandemi, kondisi saat ini belum sepenuhnya mengarah ke krisis. Namun, tanpa intervensi dan strategi yang tepat, situasi ini bisa berdampak panjang bagi industri otomotif nasional.

Pemerintah, produsen, dan konsumen perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem otomotif yang berkelanjutan dan responsif terhadap perubahan zaman. Jika tidak, mimpi memiliki kendaraan sendiri bisa kembali menjadi hal yang mewah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Baca juga: Anggaran Cuma Cukup Pegawai, Erick Thohir Minta Tambah Rp 454 M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts