Harga Minyak Mentah Anjlok Ke Level Terendah Sejak Tahun 2021 Hal ini terjadi setelah negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) menyepakati langkah untuk meningkatkan produksi global pada bulan Juni 2025.
Kesepakatan ini menjadi kali kedua secara berturut-turut OPEC+ memutuskan untuk menambah pasokan ke pasar dunia dalam dua bulan terakhir.
Mengutip laporan dari CNBC, pada penutupan perdagangan hari Senin, 5 Mei 2025 waktu setempat, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI), yang menjadi acuan utama AS, turun sebesar USD 1,16 atau setara 2%, sehingga menetap pada angka USD 57,13 per barel. Ini merupakan level penutupan terendah sejak Februari 2021.
Harga Minyak Mentah Anjlok Ke Level Terendah
Sementara itu, harga minyak mentah Brent, yang menjadi acuan global dalam perdagangan minyak, juga mengalami penurunan sebesar USD 1,06 atau 1,7%, dan ditutup pada level USD 60,23 per barel. Sejak awal tahun 2025, harga Brent telah mencatat koreksi lebih dari 20%, mencerminkan tekanan pasar yang cukup besar.
Pada pertemuan yang digelar pada Sabtu lalu, delapan negara anggota OPEC+ yang dipimpin oleh Arab Saudi mencapai kesepakatan untuk menambah volume produksi sebesar 411.000 barel per hari untuk bulan Juni. Keputusan ini menyusul peningkatan produksi serupa yang telah disepakati dan dilaksanakan pada bulan Mei, dengan besaran yang sama.
Dengan demikian, selama dua bulan berturut-turut, OPEC+ akan menyalurkan tambahan lebih dari 800.000 barel minyak per hari ke pasar global. Jumlah tersebut jauh melampaui proyeksi semula dari lembaga keuangan Goldman Sachs, yang sebelumnya hanya memperkirakan peningkatan produksi pada bulan Juni sebesar 140.000 barel per hari.
Langkah agresif OPEC+ ini diperkirakan bertujuan untuk merespons dinamika permintaan dan mempertahankan pangsa pasar di tengah pelemahan harga minyak serta adanya ketidakpastian ekonomi global.
Penurunan Terbesar Sejak Tiga Tahun Terakhir
Harga minyak pada bulan April lalu mencatatkan penurunan bulanan paling signifikan sejak 2021. Penurunan ini dipicu oleh kombinasi beberapa faktor, di antaranya kekhawatiran pasar terhadap potensi resesi ekonomi global sebagai dampak dari kebijakan suku bunga tinggi yang kembali ditegaskan oleh Presiden AS saat ini, Donald Trump.
Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran akan turunnya permintaan global terhadap minyak, bersamaan dengan peningkatan pasokan secara cepat dari negara-negara OPEC+. Situasi inilah yang menyebabkan tekanan harga yang semakin kuat pada komoditas energi.
Analis utama bidang energi dari Goldman Sachs, Daan Struyven, dalam keterangannya menjelaskan bahwa meskipun kondisi fundamental pasar minyak dalam jangka pendek relatif ketat, faktor-faktor struktural seperti kapasitas cadangan yang besar serta ancaman resesi menyebabkan ekspektasi harga cenderung lebih rendah dari yang semestinya.
Ia juga mengonfirmasi bahwa Goldman Sachs telah merevisi proyeksi harga minyak mentah AS untuk tahun ini, dari sebelumnya USD 59 menjadi USD 56 per barel.
Dampak Terhadap Kegiatan Eksplorasi dan Produksi
Penurunan harga minyak yang terjadi secara konsisten sejak awal tahun berdampak langsung terhadap aktivitas eksplorasi dan produksi (E&P) di berbagai wilayah. Beberapa perusahaan jasa energi terkemuka seperti Baker Hughes dan SLB telah mengisyaratkan bahwa investasi di sektor hulu akan menurun akibat tekanan harga yang berkepanjangan.
Lorenzo Simonelli, Chief Executive Officer Baker Hughes, menyampaikan dalam laporan keuangan kuartal pertama perusahaan pada 25 April 2025 bahwa kelebihan pasokan minyak global, ditambah ketidakpastian kebijakan di beberapa negara seperti Meksiko serta menurunnya kegiatan eksplorasi di Arab Saudi, telah menekan belanja modal di sektor hulu secara internasional.
“Situasi pasar yang saat ini mengalami kelebihan pasokan, kenaikan tarif, ketidakpastian geopolitik, serta melemahnya aktivitas eksplorasi di kawasan Timur Tengah telah mengakibatkan perusahaan energi mengurangi anggaran eksplorasi dan produksi,” ungkap Simonelli.
Penurunan Laba Perusahaan Energi
Dampak lanjutan dari menurunnya harga minyak juga tercermin pada kinerja keuangan perusahaan-perusahaan migas besar. Chevron dan ExxonMobil, dua raksasa minyak asal Amerika Serikat, melaporkan penurunan laba pada kuartal pertama tahun ini jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2024.
Turunnya harga jual minyak mentah secara global menyebabkan margin keuntungan perusahaan mengalami penyusutan, meskipun volume produksi relatif stabil. Hal ini menunjukkan sensitivitas laba perusahaan minyak terhadap fluktuasi harga komoditas, yang dipengaruhi oleh dinamika geopolitik dan kebijakan produksi global.
Outlook Pasar Energi Global
Ke depan, sejumlah analis memperkirakan bahwa pasar minyak akan tetap berada dalam kondisi volatil, terutama jika OPEC+ kembali melanjutkan kebijakan ekspansif produksinya dalam beberapa bulan ke depan.
Di sisi lain, permintaan global yang masih belum stabil akibat tekanan inflasi dan potensi pelemahan ekonomi turut menjadi variabel yang memengaruhi tren harga energi.
Dengan kombinasi faktor-faktor tersebut, banyak pelaku pasar kini menantikan langkah lanjutan dari negara-negara produsen utama, serta kebijakan ekonomi global yang mungkin dapat mengubah arah pasar dalam jangka menengah.
Baca Juga : Konsep Sulap Rumah Subsidi Jadi Nyaman Dan Estetis Desainnya