0 Comments

Ironi Harga Beras Mahal di Tengah Stok yang Melimpah

Indonesia kembali dihadapkan pada realitas yang ironis dalam sektor pangan. Meski pemerintah dan berbagai laporan menyebutkan

bahwa stok beras nasional dalam kondisi melimpah, harga beras di pasaran justru masih bertengger tinggi. Fenomena ini menjadi perhatian serius bagi masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah daerah, terutama di tengah tekanan daya beli masyarakat yang menurun pasca pandemi dan inflasi global.

Ironi Harga Beras Mahal di Tengah Stok yang Melimpah
Ironi Harga Beras Mahal di Tengah Stok yang Melimpah

Fenomena Beras Mahal: Potret yang Berulang

Lonjakan harga beras bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahun, terutama menjelang masa-masa tertentu seperti bulan Ramadan, Idul Fitri, atau awal tahun ajaran baru, harga bahan pokok cenderung naik. Namun, yang membuat situasi kali ini terasa ironis adalah karena stok beras justru dilaporkan dalam kondisi aman dan mencukupi.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog menyatakan bahwa stok beras pada pertengahan 2025 mencapai lebih dari 1,6 juta ton. Bahkan, gudang Bulog di beberapa provinsi disebut dalam kondisi penuh. Dengan demikian, publik mempertanyakan mengapa harga di tingkat konsumen masih tinggi dan belum menunjukkan penurunan yang signifikan.


Distribusi dan Tata Niaga Jadi Sorotan

Para pengamat pertanian dan logistik menyebutkan bahwa masalah utama dari harga beras bukan semata soal ketersediaan, tetapi distribusi dan tata niaga. Dalam sistem distribusi pangan Indonesia, rantai pasok dari petani hingga konsumen akhir sangat panjang. Terlibatnya banyak tangan mulai dari penggilingan, pedagang besar, pengepul, hingga pengecer menyebabkan harga beras menjadi mahal di tingkat konsumen.

Selain itu, masih banyak ditemukan kasus praktik spekulatif, seperti penimbunan dan manipulasi pasokan, yang dilakukan oleh segelintir pihak demi keuntungan pribadi. Hal ini menimbulkan ketimpangan antara realitas stok dan harga pasar.


Peran Bulog dan Intervensi Pasar

Perum Bulog telah berupaya melakukan intervensi pasar melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dengan menyalurkan beras ke pasar tradisional dan ritel modern. Beras SPHP dijual dengan harga maksimal Rp10.900 per kilogram. Namun, efektivitas program ini masih terbatas karena penetrasinya yang belum merata, terutama di daerah-daerah pelosok.

Beberapa pedagang menyatakan bahwa beras Bulog sulit diakses secara rutin, sehingga mereka tetap mengandalkan pasokan dari pedagang besar. Hal ini membuat harga beras tetap mengacu pada mekanisme pasar yang belum ideal dan cenderung fluktuatif.


Petani Tidak Diuntungkan, Konsumen Terjepit

Ironi lain dari mahalnya harga beras ini adalah kenyataan bahwa petani justru tidak mendapat keuntungan besar dari tingginya harga tersebut. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani belum menunjukkan kenaikan sebanding. Banyak petani menjual hasil panennya dengan harga rendah karena keterbatasan akses ke pasar atau keengganan penggilingan untuk membeli di harga tinggi.

Sementara itu, di sisi konsumen, beban semakin berat. Masyarakat berpenghasilan rendah menjadi kelompok paling terdampak, karena beras merupakan bahan pokok utama dalam konsumsi harian. Naiknya harga beras secara langsung memengaruhi struktur pengeluaran rumah tangga.


Kebijakan Pangan Perlu Evaluasi Serius

Fenomena ini memunculkan desakan dari banyak pihak agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pangan nasional, termasuk mekanisme cadangan beras pemerintah, peran Bulog, sistem distribusi, dan pengawasan harga. Selain itu, perlu adanya regulasi lebih tegas terhadap praktik penimbunan atau permainan harga di lapangan.

Di sisi lain, teknologi distribusi dan digitalisasi sistem rantai pasok pangan juga dinilai perlu segera diimplementasikan. Dengan pemantauan berbasis data real-time, pemerintah dapat dengan cepat mengetahui titik-titik kemacetan distribusi atau spekulasi pasar.


Perlu Keterlibatan Daerah dan Swasta

Pengendalian harga pangan seperti beras tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah perlu proaktif dalam mengawasi harga di pasar tradisional dan memastikan pasokan beras SPHP atau beras lokal tersedia dengan harga terjangkau.

Keterlibatan sektor swasta, koperasi petani, dan UMKM dalam distribusi beras juga penting untuk membangun sistem pangan yang lebih adil dan efisien. Dengan memperpendek rantai pasok, harga yang diterima konsumen bisa lebih rasional, dan petani juga bisa mendapatkan keuntungan yang lebih layak.

Baca juga:Kementerian PU Pengelolaan Sampah Terpadu Berkelanjutan 2030


Kesimpulan: Mencari Solusi Bukan Sekadar Menjaga Stok

Kondisi stok beras yang melimpah tidak otomatis menjamin harga beras menjadi murah. Sistem distribusi, tata niaga, dan regulasi yang tidak sinkron sering kali menjadi akar masalah. Oleh karena itu, perbaikan sistem pangan nasional harus menjadi prioritas. Tanpa langkah konkret dan kolaborasi lintas sektor, ironi seperti ini akan terus berulang dan merugikan banyak pihak—baik petani maupun konsumen.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts