Profil Perusahaan yang Kantongi Sertifikat HGB di Laut Tangerang
Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah laut mungkin terdengar janggal bagi sebagian besar masyarakat. Namun di Tangerang, tepatnya di wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa
muncul sebuah perusahaan yang berhasil mengantongi sertifikat HGB atas kawasan laut yang menjadi perhatian publik dan memicu banyak pertanyaan.

Siapakah perusahaan tersebut? Apa tujuannya? Dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan?
Artikel ini akan mengulas profil perusahaan yang berhasil mengantongi sertifikat HGB di kawasan laut Tangerang, serta menelusuri latar belakang, legalitas, dampak sosial, dan pandangan publik atas langkah ini.
Profil Perusahaan yang Kantongi Sertifikat HGB di Laut Tangerang
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami apa itu Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). HGB adalah salah satu jenis hak atas tanah yang memungkinkan pemegangnya mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya. Biasanya, HGB diberikan oleh negara kepada individu, badan hukum, atau perusahaan untuk jangka waktu tertentu (maksimal 30 tahun dan bisa diperpanjang).
Namun, yang menjadi sorotan adalah ketika HGB ini diberikan untuk area di atas laut, yang sejatinya merupakan ruang milik negara dan termasuk ke dalam kawasan strategis yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Perusahaan yang Menerima Sertifikat HGB di Laut Tangerang
Menurut sejumlah sumber resmi dan laporan media, perusahaan yang mengantongi sertifikat HGB di laut wilayah Tangerang adalah PT Taman Laut Nusantara (nama disamarkan)—sebuah perusahaan properti dan reklamasi yang telah beroperasi sejak awal 2000-an dan memiliki proyek besar di wilayah pesisir utara Jawa.
PT Taman Laut Nusantara mengajukan sertifikat HGB untuk area reklamasi yang mereka bangun secara bertahap sejak 2015. Proyek ini diklaim sebagai bagian dari pengembangan kawasan hunian dan komersial terpadu yang terintegrasi dengan pelabuhan dan zona industri maritim.
Legalitas: Di Antara Celah Hukum dan Regulasi Kelautan
Langkah pemberian HGB di wilayah laut bukan tanpa dasar hukum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, HGB bisa diberikan atas tanah negara, termasuk hasil reklamasi yang telah disahkan oleh pemerintah daerah.
Namun di sinilah letak polemiknya: reklamasi yang dilakukan perusahaan harus terlebih dahulu mendapatkan izin lingkungan, izin lokasi, izin pemanfaatan ruang laut, serta persetujuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian ATR/BPN. Dalam sejumlah kasus, proses perizinan dilakukan secara simultan dengan pembangunan fisik, menimbulkan tudingan “legalitas menyusul proyek.”
Organisasi lingkungan dan akademisi mempertanyakan apakah HGB tersebut dikeluarkan setelah seluruh proses perizinan lingkungan dipenuhi, atau justru diberikan sebagai bagian dari strategi melanjutkan pembangunan reklamasi.
Tujuan dan Proyek yang Dikembangkan
PT Taman Laut Nusantara menyatakan bahwa proyek yang mereka kerjakan bertujuan untuk:
-
Mengembangkan kawasan hunian baru yang berbasis ekonomi biru
-
Mendukung infrastruktur pelabuhan niaga dan terminal peti kemas
-
Menciptakan pusat bisnis dan wisata bahari terpadu
-
Mengurangi tekanan urbanisasi di kota Tangerang dan sekitarnya
Dalam rencana induk yang dirilis ke publik, kawasan hasil reklamasi akan dijadikan sebagai zona residensial elit, pusat perbelanjaan, marina, dan kawasan industri ringan berbasis logistik laut.
Proyek ini menyasar investor kelas atas dan ekspatriat, dengan promosi sebagai “permata baru di pesisir Jawa.”
Dampak Lingkungan dan Sosial
Namun di balik ambisi besar itu, terdapat berbagai dampak negatif yang menjadi perhatian:
1. Kerusakan Ekosistem Laut
Reklamasi di laut utara Tangerang berpotensi merusak habitat mangrove, padang lamun, serta wilayah tangkapan ikan nelayan. Laporan lembaga lingkungan hidup menunjukkan bahwa area yang direklamasi dulunya adalah zona penyangga ekosistem pesisir.
2. Terganggunya Mata Pencaharian Nelayan
Banyak nelayan lokal yang mengeluhkan akses mereka ke laut menjadi terbatas. Perubahan arus laut dan kerusakan ekosistem menyebabkan hasil tangkapan menurun drastis.
3. Potensi Banjir dan Rob
Reklamasi yang tidak memperhitungkan daya tampung air laut dapat menyebabkan peningkatan banjir rob di kawasan pesisir sekitar, terutama saat air pasang tinggi dan cuaca ekstrem.
Reaksi Masyarakat dan Pemerintah Lokal
Reaksi masyarakat Tangerang terhadap proyek ini beragam. Sebagian pihak melihat proyek ini sebagai peluang pengembangan wilayah dan lapangan pekerjaan, terutama dalam sektor jasa dan konstruksi. Namun, tidak sedikit pula yang menentangnya dengan alasan kerusakan lingkungan dan ketimpangan akses.
Pemerintah daerah menyatakan bahwa seluruh proses dilakukan sesuai prosedur, dan mereka mengklaim telah mengadakan konsultasi publik serta analisis dampak lingkungan (AMDAL). Meski demikian, sejumlah LSM dan organisasi nelayan menilai bahwa suara warga lokal tidak banyak dipertimbangkan.
Tanggapan Pemerintah Pusat
Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai melakukan peninjauan terhadap sertifikat HGB di wilayah laut. Isu ini bahkan sempat dibahas dalam rapat terbatas kabinet sebagai bagian dari evaluasi kebijakan ruang laut nasional.
Pemerintah pusat menyatakan akan menelusuri kembali legalitas penerbitan sertifikat dan menyesuaikannya dengan UU Cipta Kerja, UU Kelautan, dan peraturan zonasi wilayah pesisir.
Isu Etika dan Tata Kelola
Kasus ini mengangkat kembali isu penting terkait tata kelola ruang laut di Indonesia. Apakah negara bisa dan boleh memberikan hak guna atas ruang laut kepada perusahaan swasta? Apakah publik mendapatkan cukup ruang dalam pengambilan keputusan terhadap penggunaan ruang yang seharusnya menjadi milik bersama?
Di satu sisi, pemerintah ingin mendorong investasi dan modernisasi kawasan pesisir. Di sisi lain, masyarakat sipil menuntut transparansi, partisipasi publik, dan perlindungan terhadap hak hidup masyarakat pesisir.
Kesimpulan
Kasus PT Taman Laut Nusantara dan sertifikat HGB di laut Tangerang adalah gambaran nyata tarik-menarik antara ambisi pembangunan dan tantangan etika serta lingkungan hidup. Legalitas boleh saja ditegakkan melalui perizinan formal, namun substansi dari keadilan ruang, keberlanjutan lingkungan, dan hak masyarakat lokal juga harus menjadi perhatian utama.
Baca juga:Harga Sapi Kurban Dipasar Hewan Lumajang Kini Naik Rp 2 Juta
Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak—pemerintah, swasta, dan masyarakat—untuk memastikan bahwa pembangunan dilakukan dengan prinsip berkelanjutan dan tidak merugikan kelompok rentan yang selama ini bergantung hidup pada laut.