0 Comments

Sektor Bisnis Perhotelan Tertekan Pengusaha Khawatir PHK Besar tengah menghadapi tekanan berat akibat kondisi ekonomi nasional yang tidak stabil.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Pusat, Hariyadi Budi Sutrisno Sukamdani, menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor perhotelan mulai terjadi sejak triwulan pertama tahun 2025, dan situasi ini dikhawatirkan akan memburuk apabila ketidakpastian ekonomi terus berlanjut.

Dalam pernyataannya kepada media, Rabu (9/4/2025), Hariyadi mengungkapkan bahwa gelombang PHK di sektor perhotelan sejatinya telah berlangsung, meskipun tidak seluruhnya disebut secara formal sebagai pemutusan hubungan kerja.

Banyak pelaku usaha memilih untuk tidak memperpanjang kontrak karyawan atau menghentikan penggunaan tenaga kerja harian lepas sebagai bentuk efisiensi biaya operasional.

Sektor Bisnis Perhotelan Tertekan PHK Besar

Gelombang PHK Ancam Industri Perhotelan - Pikiran Rakyat Koran

“Pemutusan hubungan kerja sudah terjadi. Hanya saja, dalam praktiknya, sering tidak disebut PHK. Misalnya, tenaga kerja harian yang biasanya disesuaikan dengan tingkat okupansi hotel, kini tidak lagi digunakan.

Kontrak kerja yang habis juga tidak diperpanjang. Hakikatnya tetap sama, yaitu hilangnya kesempatan kerja bagi para tenaga kerja tersebut,” ujar Hariyadi.

Kondisi ini mencerminkan pelemahan signifikan dalam sektor perhotelan, yang selama ini menjadi salah satu andalan dalam industri pariwisata nasional.

Menurut Hariyadi, indikator yang paling jelas dari melemahnya sektor ini terlihat pada rendahnya tingkat hunian kamar hotel selama masa libur Idulfitri tahun ini, yang seharusnya menjadi periode dengan permintaan tertinggi sepanjang tahun.

“Lebaran sejatinya menjadi momentum utama untuk mendorong konsumsi masyarakat, termasuk di sektor jasa dan pariwisata. Namun kenyataannya, daya beli masyarakat terlihat menurun.

Penurunan ini tidak hanya terjadi di hotel, tetapi juga di destinasi wisata, pusat perbelanjaan, hingga tempat hiburan seperti kebun binatang,” ungkap Hariyadi.

Data yang dihimpun dari berbagai daerah menunjukkan penurunan tingkat hunian hotel secara merata. Di Kota Batu, Jawa Timur, misalnya, tingkat okupansi hotel selama periode libur Lebaran 2025 hanya mencapai 70 persen.

Angka ini mengalami penurunan signifikan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2024 yang mencatatkan tingkat okupansi sebesar 85 persen.

Gelombang PHK Makin Besar

Ketua PHRI Kota Batu, Sujud Hariadi, menyampaikan bahwa penurunan tersebut menjadi sinyal serius bagi pelaku industri perhotelan, terutama karena Lebaran biasanya menjadi puncak musim liburan.

“Okupansi hotel selama libur Lebaran kali ini hanya mencapai 70 persen, turun dibandingkan tahun lalu yang berada di angka 85 persen. Hal ini menunjukkan adanya pelemahan minat kunjungan wisatawan, yang berujung pada turunnya pendapatan hotel,” jelas Sujud, Senin (7/4/2025), sebagaimana dikutip dari Antara.

Efisiensi Anggaran Pengaruhi Okupansi Hotel, PHRI Khawatir Gelombang PHK

Penurunan serupa juga terjadi di Kota Surabaya. Menurut laporan PHRI Koordinator Wilayah Surabaya, tingkat okupansi hotel selama masa libur Lebaran tahun ini hanya berada pada angka 60 persen, menurun drastis dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 90 persen.

Ketua Harian PHRI Surabaya, Puguh Sugeng Sutrisno, menyampaikan bahwa penurunan ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni melemahnya daya beli masyarakat dan adanya kecenderungan untuk menahan pengeluaran selama musim liburan.

“Kalau dibandingkan secara tahunan, okupansi hotel selama libur Lebaran tahun ini hanya mencapai 60 persen, atau turun 30 persen dibandingkan tahun lalu. Masyarakat tampaknya lebih berhati-hati dalam menggunakan anggaran, terutama untuk kebutuhan akomodasi,” ujar Puguh.

Situasi yang sama juga terjadi di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Ketua PHRI Kabupaten Serang, Yurlena Rachman, melaporkan bahwa tingkat okupansi hotel di wilayahnya hanya mencapai 80 persen, atau mengalami penurunan sebesar 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

“Tahun lalu hampir seluruh kamar terisi penuh. Namun tahun ini, okupansi hanya berada di angka 80 persen. Ini menandakan adanya perubahan perilaku konsumen yang lebih selektif dalam berlibur,” kata Yurlena dalam keterangannya, Senin (7/4/2025).

Baca Juga : Indonesia Mulai Gabung BRICS, Di Pusat Ekspor Bisnis Tanah Air

Hariyadi menambahkan bahwa sektor perhotelan sangat rentan terhadap fluktuasi ekonomi, karena tingkat okupansi sangat bergantung pada kemampuan masyarakat untuk berwisata dan menginap di hotel. Jika kondisi ekonomi melemah, maka permintaan terhadap layanan perhotelan pun akan turun secara langsung.

“Kondisi ini akan semakin berat jika tidak ada intervensi dari pemerintah. Kami berharap adanya kebijakan insentif yang bisa membantu menstimulasi kembali sektor perhotelan, termasuk stimulus pajak, subsidi energi, atau promosi pariwisata yang lebih masif,” tutur Hariyadi.

Ia juga menyoroti pentingnya peran pemerintah daerah dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi industri perhotelan. Kerja sama antara pemda dan pelaku usaha menjadi kunci dalam menghadapi tekanan ekonomi yang tengah berlangsung.

“Pemda juga harus berperan aktif. Misalnya dengan menyelenggarakan event daerah yang dapat menarik wisatawan, memperbaiki infrastruktur penunjang pariwisata, serta memberikan kepastian regulasi bagi pelaku usaha,” pungkas Hariyadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts

Peran Networking dalam Kesuksesan Seorang Wirausahawan

Dalam dunia bisnis yang kompetitif, networking atau jaringan profesional memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan seorang wirausahawan. Networking bukan hanya sekadar membangun hubungan. Hal ini juga membuka peluang baru, memperluas wawasan, serta memberikan…